Assalamualaikum...Selamat datang di Cepi's Notes. Sesuai judulnya, blog ini hanyalah berisi catatan-catatan pribadi saya tentang beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Karenanya, tentu tidak menjamin kepuasan Anda, hehehe... Terima kasih telah mampir.

Selaksa Sepi



E
ntah siapa yang mengerti perasaanku kini selain Tuhan. Botol bekas, WC yang temboknya setengah, buku-buku, cecak yang berteriak sepertinya tak akan mengerti arti dari goncangan jiwaku ini. Mereka hanya bisa melihatnya berguncang hebat, tapi tak akan bisa menafsirkannya. Hidup sendiri yang selalu ditebas sepi, sangat rentan sekali dengan godaan yang bisa saja mengalir lembut lewat angin malam, lewat desah nafas, atau lewat aliran darah. Dosa terhadap manusia bisa saja diminimalisasi, tetapi dosa kepada Tuhan, mengalir sendiri begitu saja; tanpa rencana, tanpa niat dari pelakunya.
Inilah mungkin rahasianya, mengapa Adam protes kepada Tuhan untuk diberi teman; teman berjalan, ataupun teman berkencan. Teman sharing pikiran, maupun teman sharing birahi. Aku yakin Adam kesepian. Bagaimana tidak, dia hanya berteman dengan alam; tak ada teman bicara. Dia hanya bisa bicara pada pepohonan, pada gunung, pada air yang mengalir, pada Malaikat selalu konsisten dalam taat. Aku bisa merasakan kesepian yang dirasakanAdam tempo dulu. Apalagi waktu itu, belum ada café internet, belum ada warteg, belum ada play station, belum ada bajaj, belum ada angkot, belum ada listrik, belum ada musik.
"Tuhan aku kesepian, bisakah Engkau ciptakan bagiku teman," mungkin begitu kata Adam ketika curhat tentang perasaannya. Tuhan Maha Mengerti perasaan makhluknya. Jangankan yang diucapkan, yang terlintas dipikiran juga Dia tahu. Jadi, siapa yang bisa bersembunyi dari pantauan Tuhan? Karena pengertiannya, Tuhan menciptakan buat Adam seorang teman perempuan yang bernawa Hawa. Kisah cinta mereka paling romantik, dan perkawinan mereka paling banyak menghasilkan anak.
Dulu Adam kesepian dalam kesepian.Sedangkan aku ini kesepian dalam hiruk pikuk dan segala keramaian. Karenanya, dua tahun yang lalu aku memutuskan untuk hidup menyendiri. Aku ingin mendapatkan kehangatan dalam kesepian. Aku indekos di sebuah kamar di tingkat dua. Kuhabiskan waktu dalam renungan, dalam dzikir, dalam berpikir. Kalau siang, aku berjalan menyusuri lorong kasab. Karena aku sadar untuk survive tak cukup dengan makan istighfar, atau minum tasbih, tahlil, dan tahmid. Jaman hidupku kini, segala sesuatu harus dibeli dengan uang. Termasuk menghalalkan wanita. Kalau tak punya uang, jangan harap bisa meminang perawan, atau janda sekalipun. Keadilan juga sekarang dihargai dengan uang. Idealisme juga tidak ada yang konstan, jika sudah berhadapan dengan gepokan uang. Uang, uang, oh uang!
Adam dulu tidak protes menginginkan uang. Karena dulu semua masih gratis. Apapun boleh dimakan dengan cuma-cuma. Apapun boleh, hanya satu yang tak boleh dimakan, yaitu buah Khaldi. Buah itulah yang menjadikannya terdampar di bumi ini. Tapi kini, jamannya uang yang berkuasa. Makanya, manusia berlomba-lomba menumpuk uang, berbagai cara ditempuhnya. Dengan berbagai dalih untuk menutup keboborokan caranya mendapatkan uang. Mata manusia menjadi buta dan tuli, buta menyaksikan orang-orang miskin di sekitarnya, tulis mendengar seruan untuk berbakti kepada Tuhannya. Uang, uang, oh uang!
"Aku ga ingin pendidikan tinggi, yang penting aku punya uang banyak," kawanku pernah berkata demikian ketika kami sedang ngopi bareng.
"Ingat, nak! Uang selalu benar," kata tuan Craft pada Sponge Bob.
"Pulangkan saja aku ke orang tuaku, anak-anak bawa terserah kamu," kata Bi Icih tetanggaku kepada suaminya. Saban hari mereka bertengkar masalah uang. Bi Icih selalu iri jika tetangganya membeli perabotan baru, atau perhiasan baru. Somad yang hanya tukang sol keliling tentu tidak bisa memenuhi semua nafsu serakah istrinya, untuk memberi makan yang layak pada anak-anaknya saja sangat susah.
"Kamu tak bisa menjadi suami anakku. Mau kau kasih makan apa anakku ini," bentak Pak Jumadi ketika aku menyatakan maksud melamar Nira, anaknya. Uang, uang, oh uang.
"Aduh," tiba-tiba aku dikejutkan oleh perasaan panas yang menyengat bibirku. Perasaan itu diikuti bau rambut terbakar.
Ternyata rokok yang dari tadi nempel di bibirku dan lupa kuisap, apinya sudah sampai difilternya. Bahkan sudah mencapai bibirku. Kumisku yang sudah lama tak dicukur ikut juga menjadi korban api dari barang yang difatwakan haram oleh sebagian ulama yang tidak suka rokok, dan tidak haram menurut ulama lain yang suka merokok.
Rokok menjadi temanku satu-satunya untuk menghabiskan waktu. Dia yang biasanya meng-iyakanku jika aku berbicara tentang apapun. Aku suka padanya, dia tidak pernah mendebatku, walaupun mungkin dia tidak setuju dengan sebagian ucapanku. Tapi, disinilah aku menjadi raja. Dia tidak leluasa bergerak. Dia sudah kugigit, kucapit dengan bibirku.
"Sudah, kamu manut saja, ya!" Dia hanya diam. Kekesalannya terlihat pada asap yang dikeluarkannya. Kalaupun kecewa, dia tidak bisa apa-apa.
Kini dia marah. Karena aku dari tadi mencuekannya. Aku lebih asyik bergumul dengan lamunan yang biasa menghiasi waktu luangku. Dengan lamunan segala sesuatu menjadi mudah. Menjadi kaya juga sangat mudah, asal rajin saja melamun. Setelah selesai melamun, habis pula kekayaan. Ingin jadi apapun bisa diraih dengan melamun, setelah selesai melamun, semuanya over.
Sepiku menjadi hangat dengan lamunan. Aku bisa menghadirkan teman dengan berbagai karakter yang diinginkan. Yang pasti, aku hanya akan menghadirkan teman-temanku yang tak akan mendebat atau mengguruiku. Aku hanya akan mengajak temanku yang hanya biasa meng-iyakan dan menyetujui setiap gagasanku. Karena dalam lamunanku, akulah yang paling berkuasa, paling pintar, dan paling segalanya.
***
            Belakangan ini aku sangat khusyuk beribadah. Entah mengapa, aku begitu menikmati gerakan berdiri, ruku, dan sujud dalam shalatku. Dzikirku juga begitu. Terasa nikmat sekali. Hatiku terasa tenang. Kegundahan-kegundahan akibat hiruk pikuk duniawi juga sepertinya tidak terasa lagi. Aku lebih bisa merenungi setiap lantunan ayat Alquran dari tape compo. Aku selalu berharap kepada Tuhan agar aku bisa terus tetap dalam keadaan tenang seperti ini.
            Setan yang biasanya rajin mengujungiku dengan membawa foto-foto telanjang wanita, kadang hanya foto dadanya saja, kadang pahanya, dan kadang bagian-bagian cewek lainnya kini sudah beberapa  hari alfa. Aku sih beruntung dia tidak datang, dan berharap dia tidak datang terus agar aku bisa mati tanpa membawa imajinasi perempuan-perempuan telanjang kiriman setan itu. Setan nampaknya mengalami kesulitan menembus barikade pertahanan dzikirku.
            Namun bukan setan namanya jika tidak pintar mencari cara menggoda manusia. Sekecil apapun ada celah, dia bisa masuk ke ruang pikiran dan imajinasi manusia. Itulah mungkin mengapa iman manusia itu fluktuatif, karena adakalanya setan mengendalikan manusia itu.
            Seperti pada waktu itu, ketika aku terhanyut dalam derasnya lamunan; ketika sepi memagut tiada henti. Dia datang dengan membawa foto telanjang wanita, yang kali ini lebih cantik dari biasanya. Dia terus berceramah dan menghipnotis otakku untuk menafsir visualkan setiap kata yang keluar dari mulut dewernya. Begitu indah ucapannya, hingga aku terbuai dalam fantasi yang menggelorakan api.
"Bagaimana, mau tidak,"  katanya. Belum sempat aku menjawab, dia sudah nyerocos lagi.
"Tenang deh, semua beres. Semua aku yang ngatur. Pemilik kosan, ketua RT bahkan Presiden dan warga yang lain dijamin ga bakal tahu."
 Akupun hanyut dalam hangatnya paha wanita kiriman setan tadi. Imanku entah dimana. Mungkin terselip dalam saku celana atau entah dimana. Setan tertawa terbahak-bahak menyaksikanku tunduk pada rayunya. Kini dia telah menguasaiku. Aku terjerat dengan tali kutang perempuan.
Sebenarnya aku sudah tidak ingin perbuatan nista ini lagi. Dan sudah menekadkan diri untuk menikah. Namun, menikah tidak gratis. Saya terauman dengan ucapan Pak Jumadi, Pak Nurdin,  Pak Khalid, dan bapak-bapak wanita lainnya. Semua menolakku menjadi suami anaknya, semua pelokannya dengan alasan yang sama, "Kamu mau ngasih makan apa anakku?" Pertanyaan sinis itu yang sampai sekarang menjadi momok bagiku jika aku ingin mencoba melamar wanita baik-baik menjadi istriku. Kebutuhanku aku penuhi di tempat-tempat gelap, bersama kupu-kupu nakal yang cekikikan menggoda.
Setelah itu imanku datang lagi menjumpai. Dia marah kepadaku. Kemarahannya begitu meledak-ledak.  
"Mengapa kamu lakukan itu, tidakkah kau punya aku. Akulah satu-satunya yang bisa mengantarkanmu menghadap Tuhanmu dengan melalui jalan yang indah. Hanya aku yang bisa membantumu merayu Tuhan agar mencintaimu. Bukan setan, bukan pula nafsu bejatmu," katanya begitu keras memekik, memecahkan gendang pendengaranku; memecahkan kantung air mataku hingga meluber membanjiri mukaku.
"Kamu selalu berdoa meminta syurga, mengharapan nikmatnya. Apa dengan begini kamu bisa mendapatkannya, hah?" Kata-katanya kembali menusuk hatiku.
Aku mencoba membela diri. Aku tak mau terus enerus dipersalahkan, karena aku juga sebenarnya tidak mau melakukan perbuatan itu.
"Lantas dimana kamu ketika aku butuhkan? Aku selalu memohon agar kamu tidak meninggalkanku. Aku sudah merasa nyaman hidup dengan petunjukmu. Ketika setan datang dengan segala rayuannya kamu tidak ada. Kamu tidak membantuk, hah!!" Aku marah, tak mau disalahkan begitu saja.
"Lah, bukannya kamu yang menyuruhku pergi?" katanya balik ngeles.
"Kapan aku menyuruhmu pergi?" tanyaku.
"Ketika kamu lalai dari mengingat Tuhanmu dan menafsirkan segala bisikan setan dengan sesuatu yang menurutmu nikmat dan indah. Ketika itu kamu telah condong ke rayuannya setan. Kamu sendiri yang melupakanku. Kamu cuekkan aku, dan kamu asyik dengan kesenanganmu."
Aku tak bisa berkata-kata. Mataku beraca-kaca. Airmata kembali membanjiri wajahku, tembus ke sanubari. Kini perasaan sesal yang memenuhi rongga dadaku. Sedangkan di tempat lain, syetan tak berkomentar sedikitpun. Dia hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertengkaranku dengan imanku.
 Sepertinya imanku masih marah. Ia belum sepenuhnya masuk ke jiwaku. Aku mencoba mendatangkannya lagi lewat tahajud. Namun tahajudku masih terasa hambar. Tak ada lagi kelezatan berdiri, ruku, dan sujud dalam tahajudku. Doa-doaku berhamburan begitu saja dari bibirku tanpa dibarengi kalbu. Kalbuku masih pilu karena iman masih marah padaku. Aku hampa. Jiwaku berkabut. Sepi kembali memagut.***

0 komentar:

Posting Komentar

Anda mau menanggapi? Tafadhal...