Assalamualaikum...Selamat datang di Cepi's Notes. Sesuai judulnya, blog ini hanyalah berisi catatan-catatan pribadi saya tentang beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Karenanya, tentu tidak menjamin kepuasan Anda, hehehe... Terima kasih telah mampir.

Cermin


PRIA sangat membenci cermin. Setiap dia menemukan cermin, selalu dipecahkannya. Tak heran, jika di rumahnya tidak ada satu cermin pun yang terpasang. Bahkan, beberapa kali dia ditangkap polisi karena tidak memasang kaca spion di motor bebeknya.

Kebenciannya kepada cermin karena dia selalu merasa diomeli. Kelakuan-kelakuannya yang salah  selalu ditunjukan oleh cermin itu.  

"Hei, mengapa tidak memuji Tuhanmu yang telah memberi wajah."

"Oh, mungkin karena wajahmu tak seganteng Leonardo De Caprio, ya?"

"Mendingan kamu wajahnya tak rata, tuh lihat wajah tembok, datar begitu, mestinya kamu bersyukur." Cermin terus saja nyerocos tanpa memedulikan wajah Pria yang mulai memerah.

"Aaaaah, diaaam…!!."

"Prakkk..!!!! Cermin pecah. Pria meninjunya. Dia marah. Tangannya berdarah. Pecahan cermin berserakan di sekitar tempat pria berdiri.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu,"   sayup-sayup suara cermin terdengar diantara dengus nafas pria yang menahan amarah.

Pria merasa heran, mengapa cermin itu seolah tahu segala perlakuan yang pernah dilakukannya. Bahkan apa yang diucapkan dan diniatkan di dalam hatinya. Cermin seolah tahu betul ketika dia tidur di rumah Sari yang ditinggal suaminya ke luar kota; atau ketika dia pura-pura shalat di rumah Pak Gufron, ayah Mita, gadis incarannya. Saat itu, dia hanya mengucapkan takbir yang dikerasin sambil asyik memainkan game di hapenya. Agar disangka shalat oleh pengisi rumah.

"Kamu itu munafik, Pria," kata cermin yang ada di kamar mandi. 

"Menunjukan perilaku saleh di depan orang-orang. Padahal kamu sengaja menunjukan kesalehanmu untuk menipu orang lain. Kamu jadikan kesalehanmu itu sebagai kedok penutup kejahatn-kejahatanmu. Kamu seolah peduli ketika ayam pak RT hilang, kamu sok perhatian. Padahal kamu sendiri yang menangkap, menyembelih, dan membakarnya di sungai itu bersama teman-temanmu, bukan?" lanjutnya.

Cermin itu sepertinya belum puas mengatai Pria yang sudah mulai terprovokasi oleh ucapannya. Emosinya mulai tersulut. Namun, Pria berusaha tak acuh dengan segala ucapan cermin. Dia lantas mengambil sikat gigi, dan meletakan odol di atasnya. Baru saja dia memasukan air ke mulutnya untuk berkumur, cermin itu berkata lagi,

"Oh, sekarang kamu akan membersihkan mulut busukmu itu. Setelah berpuluh-puluh orang luka hatinya karena ucapan kasarmu. Berapa perempuan menjadi janda karena kamu memberikan berita bohong kepada suaminya. Padahal kamu hanya mau mendapatkan birahi perempuan itu setelah diceraikan suaminya. Dari mulutmu itu juga, kamu mengeluarkan sumpah serapah kepada ibumu, hanya karena ibumu tidak bisa membelikanmu motor hingga akhirnya ibumu mati terserang penyakit jantung karena ucapan-ucapanmu. Ingatlah, odol itu, sikat itu, tak akan mampu membersihkan dosa-dosa mulutmu, kecuali jigong yang menambah aroma busukmu."

Cermin terus saja mengatai Pria, bahkan ucapannya lebih pedas daripada ucapan cermin yang ada di kamar Pria yang sudah lebih dulu hancur. Cermin itu mungkin tidak tahu apa yang terjadi pada saudaranya di kamar. Dia begitu emosi, karena ibu Ratih yang biasa membersihkannya setiap sore, meninggal gara-gara dimarahi Pria.  

"Kamu itu anak yang tidak tahu diri," kata cermin seolah belum puas.

"Apa urusanmu, hah? Ikut campur urusanku," bentak Pria setelah memuntahkan air yang sejak tadi memenuhi mulutnya ke muka cermin.

"Aku cuma mau menunjukan perilaku-perilaku jelekmu yang selama ini kau sembunyikan kepada manusia lain," jawab cermin.

"Kamu munafik, sok suci. Padahal kamu sendiri bejat. Kamu suka melihat orang-orang telanjang di kamar mandi ini. Bahkan orang yang sedang berak pun kau lihat juga. Dasar penjilat, munafik!!"

"Lho, bukankah itu memang tugasku. Aku juga, kan yang menunjukan sisa-sisa makanan yang nempel di gigi bolongmu," cermin tak mau kalah.

"Tapi kau juga begitu suka melihat aurat manusia."

"No problem, toh aku bekerja sesuai fitrahku. Aku hanya menjalankan sunah Tuhan. Satu lagi, Tuhan tidak menyiapkan neraka buatku. Tapi buatmu!"

"Prakkk…!!!" Akhirnya cermin itu pecah. Serpihannya memenuhi kamar mandi. Pria menanduknya, sampai berdarah dahinya.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu," sayup-sayup suara cermin terdengar lagi, mirip dengan suara cermin yang dipecahkan di kamar tadi.

***

Sejak kejadian-kejadian itu, dia menjadi paranoid terhadap cermin. Cermin di rumahnya sudah tidak tersisa satu pun. Dia merasa sudah ditelanjangi oleh cermin. Segala kelakuan buruknya, selalu diungkapkan cermin itu. Karena itu, dia mengumumkan perang terhadap cermin, dimanapun dia bertemu.

"Aku akan membumihanguskan cermin dari muka bumi ini," gumamnya.
Setiap kali dia bertamu ke rumah temannya, dan disana dia melihat cermin matanya langsung melotot. Isi kepalanya  mendidih, tangannya gemetar.

"Kamu kenapa? Tanya Utsman ketika melihat Pria berubah menjadi gemetaran.

"Oh, tidak apa-apa."

"Boleh aku minta air?"

"Oh, ya, sebentar aku ambilkan." Utsman lantas ke dapur hendak mengambil air minum untuk Pria.

Ketika Utsman di dapur, sejurus tangan Pria menyambar cermin yang menggantung di dekat kamar Utsman. Ia lantas menyembunyikan jaket itu di balik jaketnya.

"Hei, apa maumu?" tanya cermin dari balik jaket.

"Diam saja kamu, jangan berisik. Tidak ada tempat buatmu di muka bumi ini."

"Kau masih dendam rupanya."

"Aku bilang diam, bangsat!"

"Kenapa Pria?" tanya Ustman yang datang dengan membawa segelas air.

"Oh, anu, oh, enggak." Pria kikuk.

Akhirnya dia pulang dengan membawa cermin yang akan dihancurkannya.

Dari jembatan, Pria melemparkan cermin itu ke batu-batu yang ada di bawahnya. Batu itu tak bisa berbuat apa-apa. Dan, "Praakkk…" cerminpun pecah.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu," suara cermin yang mirip dengan cermin-cermin yang telah dipecahkan sebelumnya, semakin lama semakin jauh, dan hilang ditelan sungai yang bergemuruh.

***
Pada hari itu, seluruh warga kampung dihebohkan dengan hilangnya cermin dari rumah-rumah mereka. Bahkan, cermin yang menggantung di pos ronda juga raib entah kemana.Cermin yang ada di tempat wudlu masjid pun tidak ada di tempatnya.

"Kampung kita sudah mulai tidak aman, Pak. Sebaiknya siskamling dijalankan lagi," kata Sapri.

"Betul, Pak. Dan seharusnya siskamling itu tidak hanya aktif ketika ada isu ninja, kolor ijo, atau culik saja," tambah Kirman. 

"Iya, sebenarnya itu sudah menjadi program kerja saya. Prioritas saya adalah menciptakan lingkungan kampung yang aman dan tentram. Saat ini saya sedang menggodok langkah-langkah untuk merealisasikannya," kata pak RW.

"Strategi saya, tidak usah grusah grusuh, slowly but sure saja lah. Agar hasilnya maksimal," lanjutnya sambil menyeruput kopi.

"Tapi harus sigap, dong, Pak. Keadaan sudah genting," timpal Kirman.

"Betul, Pak. Sekarang sudah tiga perempat warga kampung yang kehilangan cermin. Nanti, bisa saja bukan cermin yang hilang, tapi kampung ini."

"Hahaha…mana mungkin ada orang yang mampu mencuri kampung ini."

Pak RW sebenarnya merasa senang dengan adanya isu itu. Sebab, dia juga pernah dipermalukan oleh cermin. Tapi dia ingin tahu siapa sebenarnya yang melakukan penculikan cermin-cermin di kampungnya.

"Nanti akan saya dukung dia," gumamnya dalam hati.

Pak RW masih ingat bagaimana dia dikatakan munafik, jahat, koruptor, pembohong publik, menggunakan kekuasaan untuk memaksa para wanita melayaninya, dan sebagainya. Tapi dia masih belum berani memberangus cermin-cermin itu.

"Aku ini pemimpin, kalau cermin itu aku hancurkan gara-gara dia suka mengomel, nanti dikatakan pemimpin yang anti kritik," gumamnya.

"Biarkan saja, biar jaman yang memusnahkannya," gumamnya lagi.

***

Sudah seminggu kasus raibnya cermin itu melanda. Tadi malam, giliran rumah Imran dan Suminah yang kehilangan cermin. Bahkan, cermin yang menjadi kaca pintu lemarinya juga hilang.

Meski demikian, Pak RW belum melakukan tindakan apapun. Tiap hari warga memberikan laporan, namun jawabnnya selalu saja ngambang.

"Tenang, saya sedang menyusun strategi."

"Ah itu mah kasus biasa. Terlihat istimewa karena yang dicuri cermin, bukan mayat bayi atau kutang perempuan seperti yang sudah banyak diberitakan."

"Ya, besok saya akan rapat dengan pengurus RW lain."

Respon pak RW tidak memberikan kepastian atau ketenangan bagi para warganya.

Akhirnya mereka mengajukan laporan ke Kapolsek.

"Kasus hilangnya cermin itu sudah seminggu, Pak. Seluruh warga kehilangan cerminnya. Kecuali 3 kepala keluarga lagi, itu juga karena mereka tidak punya cermin," Kirmann yang bertindak sebagai juru bicara warga menyampaikan laporannya.

Polisi itu manggut-manggut.  Seolah mengerti apa yang disampaikan Kirman. Keterangan tidak diketik dalam berita acara laporan,  dia malah melepaskan tatapan kosong menerawang ke masa beberapa bulan yang lalu, melukis kembali kenangan ketika dia menerima ejekan menjengkelkan dari cermin.

"Kamu itu polisi. Semboyan melayani masyarakat. Tapi tak mau melindungi jika masyarakat itu tak ada uangnya. Kamu ingat, ketika pak Kurmin melaporkan kehilangan anaknya yang autis, kamu tidak menggubrisnya karena dia tidak meberimu uang. Namun, ketika bandar miras minta dikawal ketika mau ngirim ke kota Cikeras kamu begitu sigap dan siap karena dibayar dengan jumlah besar. Kamu itu melayani atau mau dilayani masyarakat."

Muka polisi itu memerah. Kebenciannya kepada cermin itu muncul lagi. Sedangkan Kirman masih tetap di tempat tadi, melaporkan kasus pencurian cermin itu.

"Kalau saya usut kasus ini sampai pelaku tertangkap, maka cermin-cermin itu akan semakin melunjak. Habislah reputasiku diinjak-injaknya," katanya dalam hati.

"Baiklah, Pak. Laporan dari bapak saya sudah terima. Insya Allah secepatnya saya akan kirim tim ke TKP. Sampaikan kepada warga kampung semuanya agar tetap tenang, dan tidak panik. Ini hanya kasus biasa. Tidak terlalu serius," katanya kepada Kirman.

Namun, sampai seminggu kemudian tim kepolisian tidak kunjung datang. Akhirnya Kirman dengan dukungan warga menyampaikan laporan ke Kapolres, Bupati, Gubernur, Kapolda, dan bahkan sampai tak ada lagi semangat untuk melaporkan. Seluruhnya menyampaikan jawaban yang ngambang, dan memberikan harapan yang hampa. Sementara warga, hanya bisa pasrah pada kenyataan. Bahwa semua ternyata membenci cermin.

***
Menyebarlah berita tentang kasus itu. Semakin banyak laporan, semakin banyak pula orang-orang yang menghancurkan cermin. Bahkan, tak terhitung sekarang berapa jumlah pelakunya. Dendam Pria terhadap cermin ternyata sudah menular kepada orang lain yang merasa terancam. Terancam terbuka semua rahasia-rahasia negatifnya. Makanya, dalam sekejap, cermin telah hilang dari seluruh negeri.

Manusia pun bebas melakukan apa saja. Tak ada lagi yang merasa terancam. Tak ada lagi yang tahu perilaku-perilaku yang menyimpang. Yang punya kesempatan korupsi semakin giat menambah jumlah uang korupsinya. "Ini investasi, kalau saya sudah tidak menjabat lagi, tidak mungkin ada kesempatan seperti ini. Bagaimana nasib anak-anakku?" katanya kepada dirinya sendiri. Sebab, hanya dirinya sendiri yang biasanya diajak ngobrol sekaligus diskusi masalah strategi.

Begitu juga para pekerja, semakin bebas menilap barang milik bossnya. Penjual mengurangi timbangan barangnya. Pembantu rumah tangga berani selingkuh dengan majikannyayang gatal. Sekarang semua tak perlu ragu, karena cermin sudah tiada. Sudah musnah. Sudah pergi bersama bersama angin yang menghempaskan nurani.

***

Pria sekarang merasa menang. Dendam membara pada cermin mulai mereda. Kini dia tidak ada lagi yang mengganggu ketika dia ingin masuk ke rumah para janda di kampungnya. Dia tak lagi merasa dibuntuti. Dia tak merasa diawasi.

Namun, ada yang ganjil dirasakannya ketika bertemu orang-orang. Mereka selalu membuang muka sambil tertawa.

"Apa ada yang salah denganku, ya?"

Akhirnya dia menemui Kirman. Dan bertanya ada apa dengan dirinya sehingga setiap orang yang bertemu dengannya selalu tertawa.

"Kenapa, ya, Pak?" tanyanya setelah beberapa lama bercerita.

Sebelum menjawab Kirman malah tertawa terbahak-bahak.

"Kamu habis nyukur kumis ya?

"Iya." Jawabnya masih dengan keheranan.

"Lihat, kumismu gundul sebelah, topimu miring kaya orang ga waras, hahahaha….." kata Kirman sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Hmmm….ini gara-gara kamu juga cermin. Mengapa kamu musnah?"

"Bukankah sudah aku katakan, kamu pasti memerlukan cermin dalam hidupmu. Kamu perlu cermin. Tanpa cermin kamu menjadi culun, kan? Menjadi lucu, kan? Lucu karena penampilanmu yang asal-asalan. Tidak bisa menyeimbangkan penampilanmu, kan? Kini kamu tahu, bahwa kamu ternyata butuh aku," samar-samar dari kejauhan ada suara yang persis mirip suara cermin-cermin yang dipecahkan Pria.

Panas Pria karena cermin pun kini mulai dingin. Dan dia berjanji untuk memasang kembali cermin di dinding rumahnya. Bahkan, digantung didadanya.***

Klender, 3/13/2011 8:27:57 PM

Deru Ambisi


Deru langkah ambisi
Berkobar setiap pagi mulai
Tak peduli mentari berseri atau tak berseri
Angan terus berlari memanjakan diri

Ada kala manusia berkelumun asa
Menggenggam dunia berkuasa atas masa
Menggantung cita di langit ke tujuh
Bermandi kesah berpeluh keluh

Andai saja manusia ingat
Ada Tuhan yang Mahakuat
Dia begitu dekat
Memenuhi segala hasrat yang tergurat

Tuhan telah menunjukan jalan keimanan
Lalui dia, dengan segenap keikhlasan
Keikhlasan yang tak terbeli
Genggam erat hingga mati

Sejuta usaha sampai di jalan buntu
Tanpa tangan Tuhan mengulur membantu
Tuhan sangat baik
Manusia hanyat perlu meminta
Dia pasti memberi tanpa menagih kembali

Klender, 3/23/2011 6:43:05 AM