Assalamualaikum...Selamat datang di Cepi's Notes. Sesuai judulnya, blog ini hanyalah berisi catatan-catatan pribadi saya tentang beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Karenanya, tentu tidak menjamin kepuasan Anda, hehehe... Terima kasih telah mampir.

Sibuk Facebook*

Cepi Supriatna 

Suminah seorang ibu rumah tangga muda kini mendapat gelar baru, yaitu sebagai fesbuker sejati. Fesbuker sejati sendiri merupakan julukan yang diberikan teman-teman dia di fesbuk. Dijuluki demikian, karena Suminah orang yang paling rajin menulis status. Hampir setiap menit status fesbuknya diupdate. 

"Ehmm…suamiku hebat, terima kasih beiby," bunyi statusnya yang dibagikan pada malam Jumat pukul 04.00. Sontak, ratusan komentarpun bermunculan. Maklum, statusnya lumayan provokatif, apalagi ditulis pada malam Jumat. Sudah tentu orang-orang mengasosiasikannya dengan pergumulan cinta antara Suminah dan suaminya. Begitulah Suminah. Setelah dia kenal dengan fesbuk dua bulan yang lalu. Apapun yang dia alami selalu ditulisnya di status. 

"Uh, bau banget nih orang, " tulisnya ketika dia naik Metromini. 

"Wadowww….jerawatku sakit," tulisnya saat dia bercermin dan bermain dengan jerawat. Suaminya yang kebetulan seorang pegawai kantoran tidak peduli dengan kebiasaan Suminah. Pagi-pagi dia sudah berangkat, dan hampir menjelang magrib dia baru pulang. Setelah itu, dia menggarap kerjaan lagi, lalu tidur. Begitu seterusnya yang dia lakukan setiap hari. Suminah dibiarkannya anteng dengan fesbuknya. Hanya sesekali, ketika birahinya muncul dia memanggil Suminah. Mau tidak mau, Suminah pun harus menurut, dan menghentikan aktifitasnya di fesbuk. "Gapapa, biar ada bahan buat statusku," gumamnya dalam hati sambil tersenyum sendiri. 

"Inah off dulu ya, teman-teman, suamiku memanggil tuh. Hmmm….apa yang akan terjadi malam ini, ya? wkwkwkwk…." 
"Oke, ditunggu kabarnya ya!"
"Hayoh, mau ngapain, jeng? Semoga sukses ya!" 
"Hei, ikut dong!"
"Ah, kamu bikin ngiler aku." 
"Prikitieewwww…." Belum sempat Suminah menutup akunnya, beberapa komentar bermunculan. Suminah tersenyum, dan itu yang dia nantikan. Komentar dari teman-temannya. 

*** 
Setiap kali bertemu orang baru Suminah selalu menanyakan akun fesbuk. Termasuk kepada tukang sayur yang datang pagi itu.

"Bang, punya fesbuk, ga?" 
Si abang tukang sayur celingukan. Dia berpikir, kalau dia jawab tidak tahu, reputasi dia sebagai tukang sayur yang sudah berkelana melanglang buana akan runtuh dengan pertanyaan dari pelanggan barunya itu.

"Oh,…fesbuk, ya?" 

"Walaah,…sudah habis, Mbak. Tadi diborong sama Bu RW." "Besok deh, ya, saya bawakan," katanya, bingung sendiri tentang apa yang dia ucapkan.
"Ya, Allah abang, hari gini ga tau fesbuk. Capek deeh.." kata Suminah diikuti dengan runtuyan tawa.
"Fesbuk, sayuran apa, ya?" katanya sambil garuk-garuk kepala. Kali ini si abang benar-benar merasa sudah jatuh reputasinya. 

"Tenang, Mbak. Besok akan saya carikan, ya!" 

"Ga bakal ada di pasar, abang. Tuh paling di warnet," kata Suminah sambil memberikan sejumlah uang untuk dua ikat bayam dan tempe. 

"Warnet, hmm…warung apalagi?" bisik si abang dalam hatinya. Dalam hatipun dia berbisik, saking malunya. Juga takut salah.

 ***
Suminah, benar-benar sudah kecanduan fesbuk. "Hidupku semakin berwarna dengan fesbuk," katanya seperti ditulis dalam statusnya. Ya, aktifitas Suminah menjadi bertambah. Kini, selain bersih-bersih rumah, masak, mencuci, dan mengurus anak, dia harus mengerjakan satu pekerjaan lagi, yaitu melaporkan pekerjaan-pekerjaannya di fesbuk. Sehari saja tidak membuka fesbuk, dia merasa sangat menderita. Seperti hari itu. Seharian dia merengut. Senyum manis yang biasanya disajikan bersama hidangan sarapan atau makan malam untuk suaminya, kini tidak ada.

"Hmm…, sepertinya ada yang kurang di meja makan ini. Apa ya, sayang?" Suaminya mencoba menggoda. Imran memang suami yang romantis.

"Kenapa, sariawan, ya?" Suminah masih bungkam. Bibirnya tambah tebal. Mukanya makin kusut.
"Kenapa, sayang? Ayo bicarakan masalahmu ke ayah."

"Ini, Ay, HP Inah rusak." Imran tersenyum. 

"Pasti ga bisa buka fesbuk, ya?"

"Iya." Jawab Suminah sambil terus merengut. 

"Ya sudah, besok kita tukar sama yang baru. Oke!"

"Beneran, Ay?" Mendadak riak wajah Suminah merekah.

"Kapan sih, ayah bohong? Ayo senyum dulu!"

"Makasih ya, sayang," kata Suminah sambil tersenyum.

"Nah, itu baru istri ayah yang cantik."

***
Suminah pun ceria lagi. Dengan sebuah BlackBerry gemininya dia merasa semakin percaya diri. Sebab, keterangan di bawah statusnya tidak akan tertulis lagi, "…..melalui 0.facebook.com" yaitu sarana membuka fesbuk via HP secara gratis. Sekarang tulisanya akan, "….melalui BlackBerry." Lebih gagah dan lebih menunjukkan strata sosial yang lumayan tinggi. Suminah pun semakin semangat meng-update status. 

"Alhamdulillah, suamiku baik banget." "Enak juga ya, pake BB." Suami Suminah merasa tenang, sekarang istrinya sudah ceria kembali. Baginya keceriaan istri merupakan kesuksesannya dalam berumahtangga. Sedikitpun Imran tidak peduli dengan aktifitas istrinya. Meski pernah beberapa kali Suminah membiarkan anaknya hampir celaka. Pernah anaknya tiba-tiba sudah ada di tengah jalan, dan hampir tertabrak motor. 

Ketika itu Suminah sedang duduk di pekarangan rumah; asyik dengan fesbuknya. Imran hanya memperingatinya ketika itu. Sekalipun, Imran tidak pernah marah. 

"Saatnya shoping ke pasar. Ada yg mau ikut??" Tulisnya, ketika dia mau berangkat ke pasar. Suminah berangkat ke pasar dengan anaknya. Ketika itu pasar ramai sekali. Entah mengapa. Tidak seperti biasanya, kala itu manusia menyemut, sulit sekali untuk jalan. Suminah menurunkan anaknya yang dari tadi ada di pangkuan. Tangannya langsung mengambil BlackBerry kebanggaannya dari dompet. Dan, tidak salah lagi, dia langsung membuka fesbuk. Hendak menulis status,
"Duh, pusing… banyak banget manusia di pasar ini. Gak seperti biasanya. Susah banget jalan." 

Satu komentar masuk. "Ke mall aja, jeng" 

"Ah, aku kan peduli sama pedagang kecil, wkwkwk" balas Suminah. 

"Peduli, atau bokek," komentar dari beda orang masuk lagi. 

"Sory yach, tabunganku masih utuh, tuh" balas Suminah. 

"Betul, bu! Kita harus peduli sama pedagang kecil," seseorang mengomentari.
"@Bundakoe: Sepakat, kita kepinggirkan dulu gengsi. Kita haru peduli. Saat ini, para pedagang di pasar tradisional semakin terinjak oleh mall-mall megah. Mall sama saja pasar. Toh yang di mall juga sama dengan yg dipasar. Kangkung ya, kangkung. Bayam ya bayam. Tak berbeda dengan yang di pasar sedikitpun." Tulis Suminah panjang lebar. 

Tiba-tiba, Suminah dikejutkan oleh suara riuh orang-orang. Melihat ke bawah, Qaisya, anaknya sudah tidak terlihat di sampingnya.

"Astaghfirullah, ade!" Dia bingung setengah mati. Kemana harus mencari anaknya. Dia menanyakan ke setiap orang yang bertemu dengannya. Tapi tak seorang pun mengetahui. Suminah menangis. Dia terus bertanya kepada orang-orang sambil menuju tempat kerumunan orang yang agak jauh di seberang sana. Dia berharap di sana dia mendapat petunjuk tentang keberadaan anaknya. Sampai disana, dia tidak bisa melihat apa yang sedang dikerumunin orang-orang. Dia hanya melihat orang-orang mukanya terbakar amarah. Ada yang mengumpat, ada juga yang menghantamkan tinjunya ke tengah kerumunan orang itu. Lalu datang beberapa orang polisi melerai dan membubarkan kerumunan itu. Ternyata seorang pemuda. Usianya kira-kira 23 tahun. Mukanya sudah tidak berupa lagi. Penuh darah. Menurut orang-orang, dia tertangkap basah mencopet tas milik seorang nenek-nenek.

Suminah semakin bingung. Kemana dia harus mencari anaknya. Anaknya baru bisa berjalan. Suminah pun tidak henti-hentinya menangis. Sambil menangis dia mengambil BlackBerry dari dalam tasnya.

"Dimanakah anakku, ya rabb.Pertemukanlah aku dengannya," tulisnya dalam fesbuk. 

Dalam kebingungan, seseorang menyapanya. 

"Mbak, kenapa nangis?" Ternyata dia Mumun tetangganya.

"Anakku hilang, Mun."

"Kapan? Kok bisa?"

"Tadi ketika masuk pasar. Ketika aku buka fesbuk."

"Astaghfirullah. Mungkinkah anak itu?" Suminah langsung merangah.

"Apa? Anak yang mana? Kenapa dengan anak itu?" Suminah mencecar Mumun dengan pertanyaan.

"Aku tidak melihatnya secara langsung sih, Mbak. Cuma tadi kata tukang tempe, ada anak kecil tertabrak motor. Katanya langsung dibawa ke rumah sakit."

"Astagfirullah, mungkinkah itu Qaisya?" Suminah menangis sejadi-jadinya. Dia membayangkan seandainya anak yang tertabrak itu anaknya. Di tengah kepanikan, tak lupa dia menulis status, 

"Ya, Allah semoga anak yang tertabrak itu bukan anakku," tulisnya.

"Mun, antarkan aku ke rumah sakit, ya! Aku penasaran."

"Ya, Mbak. Mari." Diantar Mumun, Suminah pergi ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit, dia langsung menuju UGD. Ternyata benar, anaknya sedang terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah. Tangis Suminah pun pecah. Segera dia mengambil ponselnya. 

"Ya Allah, kuatkanlah anakku," tulisnya di status.

"Maaf, Bu. Anak ibu sudah pergi," kata dokter. Sesuatu seperti menimpa dada Suminah. Dia tidak bisa bernafas. Pandangannya perlahan kabur. Akhirnya, menjadi gelaplah alam sekitarnya. Suminah tak bisa melihat apa-apa. Blackberry yang selalu lekat di tangannya tak terlihat sama sekali. Tenaganya sedikit-sedikit pergi dari raganya. Suminahpun runtuh, rata dengan lantai tempatnya berdiri.

 *** 

Pagi itu, Suminah bangun dengan sejuta rasa bersalah. Dia tidak percaya kalau anaknya sudah meninggal, meninggal akibat kelalaiannya. Matanya masih sembab. Semalam, dia tak berhenti menangis. Beruntung, Imran ikhlas dan tidak terlalu menyalahkan Suminah. Imran cukup bijak dalam menghadapi masalah rumah tangganya. Itulah yang menjadi kunci rumahtangganya langgeng. Kalau saja Imran bukan penyabar, mungkin Suminah sudah lama menjanda.

"Sudahlah, sayang. Kita ikhlaskan saja anak kita pergi." 

"Tapi semua karena salah Inah." Suminah sesegukan.

"Bukan, semua sudah takdir Allah. Hanya mungkin jalannya melalui ketelodoran Inah." Imran mencoba menenangkan. 

"Terima kasih ya, Allah, kau anugerahkan hamba suami yang pengertian," Suminah tidak lupa menulis status. 

"Lain kali, kamu harus hati-hati, ya!"

"Ayah tidak melarang kamu fesbukan. Tapi jangan sampai kamu terlena, ya!" Imran menasehati. Obrolan mereka terhenti dengan kedatangan Mang Sapri. Dia yang mengurus sapi milik ayahnya Suminah.

"Ada apa, Man?" tanya Suminah.

"Bapak, neng."

"Bapak kenapa, Mang? Sakit lagi?"

"Bapak tadi tiba-tiba pingsan."

"Astaghfirullah."

"Tenang, tenang. Yuk kita lihat kondisi bapak," ujar Imran. Dalam kondisi panik, seperti biasa, Suminah selalu menulis status, 

"Ya Allah, semoga Bapakku tidak kenapa-kenapa." 

Tiba di rumah, terlihat bapaknya sedang terbaring di atas ranjang di kamarnya.

"Ya Allah, Bapak!!!" Suminah menangis.

"Sudah tenang dulu. Mang Sapri tolong panggil pak mantra ya!"

"Baik, Pak."

"Inah, kamu ambil air minum buat bapak."

Suminah pun lantas pergi ke dapur. Lama dia tidak kembali ke kamar. Imran menyusulnya ke dapur.

"Ya, Allah, Inah. Mana airnya?" Imran mulai kesal menyaksikan istrinya yang sedang memainkan HP. 

"Sebentar ayah, tinggal dishare."

Imran segera menyambar gelas yang ada di samping Suminah. Dia tidak bicara. Kali ini, Imran sepertinya habis kesabarannya.

"Bapak sudah hampir sekarat juga kamu masih saja maen Fesbuk. Tahu waktu, dong." Nada bicara Imran meninggi.

"Ya, Allah, baru aku melihat suamiku marah," tulis Suminah di Fesbuk. Sambil mengikuti suaminya ke kamar bapaknya. Sebelum mantri datang, bapak Suminah sudah meninggal. Di tangannya masih tergenggam handphone dengan sebuah akun fesbuk yang masih terbuka. Di dinding Fesbuk tersebut ada tulisan yang belum sempat dibagikan, 

"Wah, sapi-sapiku bertambah gemuk, nih. Alhamdulillah. Mungkinkah esok aku akan melihatmu lagi, sapi???" Sebelum pingsan bapaknya Suminah sempat menulis status. Sayang, belum sempat dibagikan. Ternyata, bapak dan anak sama-sama Fesbukmaniak. 

***
 ========================================== 
* diterbitkan di Majalah Ummi, edisi 1 Agustus 2011