Assalamualaikum...Selamat datang di Cepi's Notes. Sesuai judulnya, blog ini hanyalah berisi catatan-catatan pribadi saya tentang beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Karenanya, tentu tidak menjamin kepuasan Anda, hehehe... Terima kasih telah mampir.

Selaksa Sepi



E
ntah siapa yang mengerti perasaanku kini selain Tuhan. Botol bekas, WC yang temboknya setengah, buku-buku, cecak yang berteriak sepertinya tak akan mengerti arti dari goncangan jiwaku ini. Mereka hanya bisa melihatnya berguncang hebat, tapi tak akan bisa menafsirkannya. Hidup sendiri yang selalu ditebas sepi, sangat rentan sekali dengan godaan yang bisa saja mengalir lembut lewat angin malam, lewat desah nafas, atau lewat aliran darah. Dosa terhadap manusia bisa saja diminimalisasi, tetapi dosa kepada Tuhan, mengalir sendiri begitu saja; tanpa rencana, tanpa niat dari pelakunya.
Inilah mungkin rahasianya, mengapa Adam protes kepada Tuhan untuk diberi teman; teman berjalan, ataupun teman berkencan. Teman sharing pikiran, maupun teman sharing birahi. Aku yakin Adam kesepian. Bagaimana tidak, dia hanya berteman dengan alam; tak ada teman bicara. Dia hanya bisa bicara pada pepohonan, pada gunung, pada air yang mengalir, pada Malaikat selalu konsisten dalam taat. Aku bisa merasakan kesepian yang dirasakanAdam tempo dulu. Apalagi waktu itu, belum ada café internet, belum ada warteg, belum ada play station, belum ada bajaj, belum ada angkot, belum ada listrik, belum ada musik.
"Tuhan aku kesepian, bisakah Engkau ciptakan bagiku teman," mungkin begitu kata Adam ketika curhat tentang perasaannya. Tuhan Maha Mengerti perasaan makhluknya. Jangankan yang diucapkan, yang terlintas dipikiran juga Dia tahu. Jadi, siapa yang bisa bersembunyi dari pantauan Tuhan? Karena pengertiannya, Tuhan menciptakan buat Adam seorang teman perempuan yang bernawa Hawa. Kisah cinta mereka paling romantik, dan perkawinan mereka paling banyak menghasilkan anak.
Dulu Adam kesepian dalam kesepian.Sedangkan aku ini kesepian dalam hiruk pikuk dan segala keramaian. Karenanya, dua tahun yang lalu aku memutuskan untuk hidup menyendiri. Aku ingin mendapatkan kehangatan dalam kesepian. Aku indekos di sebuah kamar di tingkat dua. Kuhabiskan waktu dalam renungan, dalam dzikir, dalam berpikir. Kalau siang, aku berjalan menyusuri lorong kasab. Karena aku sadar untuk survive tak cukup dengan makan istighfar, atau minum tasbih, tahlil, dan tahmid. Jaman hidupku kini, segala sesuatu harus dibeli dengan uang. Termasuk menghalalkan wanita. Kalau tak punya uang, jangan harap bisa meminang perawan, atau janda sekalipun. Keadilan juga sekarang dihargai dengan uang. Idealisme juga tidak ada yang konstan, jika sudah berhadapan dengan gepokan uang. Uang, uang, oh uang!
Adam dulu tidak protes menginginkan uang. Karena dulu semua masih gratis. Apapun boleh dimakan dengan cuma-cuma. Apapun boleh, hanya satu yang tak boleh dimakan, yaitu buah Khaldi. Buah itulah yang menjadikannya terdampar di bumi ini. Tapi kini, jamannya uang yang berkuasa. Makanya, manusia berlomba-lomba menumpuk uang, berbagai cara ditempuhnya. Dengan berbagai dalih untuk menutup keboborokan caranya mendapatkan uang. Mata manusia menjadi buta dan tuli, buta menyaksikan orang-orang miskin di sekitarnya, tulis mendengar seruan untuk berbakti kepada Tuhannya. Uang, uang, oh uang!
"Aku ga ingin pendidikan tinggi, yang penting aku punya uang banyak," kawanku pernah berkata demikian ketika kami sedang ngopi bareng.
"Ingat, nak! Uang selalu benar," kata tuan Craft pada Sponge Bob.
"Pulangkan saja aku ke orang tuaku, anak-anak bawa terserah kamu," kata Bi Icih tetanggaku kepada suaminya. Saban hari mereka bertengkar masalah uang. Bi Icih selalu iri jika tetangganya membeli perabotan baru, atau perhiasan baru. Somad yang hanya tukang sol keliling tentu tidak bisa memenuhi semua nafsu serakah istrinya, untuk memberi makan yang layak pada anak-anaknya saja sangat susah.
"Kamu tak bisa menjadi suami anakku. Mau kau kasih makan apa anakku ini," bentak Pak Jumadi ketika aku menyatakan maksud melamar Nira, anaknya. Uang, uang, oh uang.
"Aduh," tiba-tiba aku dikejutkan oleh perasaan panas yang menyengat bibirku. Perasaan itu diikuti bau rambut terbakar.
Ternyata rokok yang dari tadi nempel di bibirku dan lupa kuisap, apinya sudah sampai difilternya. Bahkan sudah mencapai bibirku. Kumisku yang sudah lama tak dicukur ikut juga menjadi korban api dari barang yang difatwakan haram oleh sebagian ulama yang tidak suka rokok, dan tidak haram menurut ulama lain yang suka merokok.
Rokok menjadi temanku satu-satunya untuk menghabiskan waktu. Dia yang biasanya meng-iyakanku jika aku berbicara tentang apapun. Aku suka padanya, dia tidak pernah mendebatku, walaupun mungkin dia tidak setuju dengan sebagian ucapanku. Tapi, disinilah aku menjadi raja. Dia tidak leluasa bergerak. Dia sudah kugigit, kucapit dengan bibirku.
"Sudah, kamu manut saja, ya!" Dia hanya diam. Kekesalannya terlihat pada asap yang dikeluarkannya. Kalaupun kecewa, dia tidak bisa apa-apa.
Kini dia marah. Karena aku dari tadi mencuekannya. Aku lebih asyik bergumul dengan lamunan yang biasa menghiasi waktu luangku. Dengan lamunan segala sesuatu menjadi mudah. Menjadi kaya juga sangat mudah, asal rajin saja melamun. Setelah selesai melamun, habis pula kekayaan. Ingin jadi apapun bisa diraih dengan melamun, setelah selesai melamun, semuanya over.
Sepiku menjadi hangat dengan lamunan. Aku bisa menghadirkan teman dengan berbagai karakter yang diinginkan. Yang pasti, aku hanya akan menghadirkan teman-temanku yang tak akan mendebat atau mengguruiku. Aku hanya akan mengajak temanku yang hanya biasa meng-iyakan dan menyetujui setiap gagasanku. Karena dalam lamunanku, akulah yang paling berkuasa, paling pintar, dan paling segalanya.
***
            Belakangan ini aku sangat khusyuk beribadah. Entah mengapa, aku begitu menikmati gerakan berdiri, ruku, dan sujud dalam shalatku. Dzikirku juga begitu. Terasa nikmat sekali. Hatiku terasa tenang. Kegundahan-kegundahan akibat hiruk pikuk duniawi juga sepertinya tidak terasa lagi. Aku lebih bisa merenungi setiap lantunan ayat Alquran dari tape compo. Aku selalu berharap kepada Tuhan agar aku bisa terus tetap dalam keadaan tenang seperti ini.
            Setan yang biasanya rajin mengujungiku dengan membawa foto-foto telanjang wanita, kadang hanya foto dadanya saja, kadang pahanya, dan kadang bagian-bagian cewek lainnya kini sudah beberapa  hari alfa. Aku sih beruntung dia tidak datang, dan berharap dia tidak datang terus agar aku bisa mati tanpa membawa imajinasi perempuan-perempuan telanjang kiriman setan itu. Setan nampaknya mengalami kesulitan menembus barikade pertahanan dzikirku.
            Namun bukan setan namanya jika tidak pintar mencari cara menggoda manusia. Sekecil apapun ada celah, dia bisa masuk ke ruang pikiran dan imajinasi manusia. Itulah mungkin mengapa iman manusia itu fluktuatif, karena adakalanya setan mengendalikan manusia itu.
            Seperti pada waktu itu, ketika aku terhanyut dalam derasnya lamunan; ketika sepi memagut tiada henti. Dia datang dengan membawa foto telanjang wanita, yang kali ini lebih cantik dari biasanya. Dia terus berceramah dan menghipnotis otakku untuk menafsir visualkan setiap kata yang keluar dari mulut dewernya. Begitu indah ucapannya, hingga aku terbuai dalam fantasi yang menggelorakan api.
"Bagaimana, mau tidak,"  katanya. Belum sempat aku menjawab, dia sudah nyerocos lagi.
"Tenang deh, semua beres. Semua aku yang ngatur. Pemilik kosan, ketua RT bahkan Presiden dan warga yang lain dijamin ga bakal tahu."
 Akupun hanyut dalam hangatnya paha wanita kiriman setan tadi. Imanku entah dimana. Mungkin terselip dalam saku celana atau entah dimana. Setan tertawa terbahak-bahak menyaksikanku tunduk pada rayunya. Kini dia telah menguasaiku. Aku terjerat dengan tali kutang perempuan.
Sebenarnya aku sudah tidak ingin perbuatan nista ini lagi. Dan sudah menekadkan diri untuk menikah. Namun, menikah tidak gratis. Saya terauman dengan ucapan Pak Jumadi, Pak Nurdin,  Pak Khalid, dan bapak-bapak wanita lainnya. Semua menolakku menjadi suami anaknya, semua pelokannya dengan alasan yang sama, "Kamu mau ngasih makan apa anakku?" Pertanyaan sinis itu yang sampai sekarang menjadi momok bagiku jika aku ingin mencoba melamar wanita baik-baik menjadi istriku. Kebutuhanku aku penuhi di tempat-tempat gelap, bersama kupu-kupu nakal yang cekikikan menggoda.
Setelah itu imanku datang lagi menjumpai. Dia marah kepadaku. Kemarahannya begitu meledak-ledak.  
"Mengapa kamu lakukan itu, tidakkah kau punya aku. Akulah satu-satunya yang bisa mengantarkanmu menghadap Tuhanmu dengan melalui jalan yang indah. Hanya aku yang bisa membantumu merayu Tuhan agar mencintaimu. Bukan setan, bukan pula nafsu bejatmu," katanya begitu keras memekik, memecahkan gendang pendengaranku; memecahkan kantung air mataku hingga meluber membanjiri mukaku.
"Kamu selalu berdoa meminta syurga, mengharapan nikmatnya. Apa dengan begini kamu bisa mendapatkannya, hah?" Kata-katanya kembali menusuk hatiku.
Aku mencoba membela diri. Aku tak mau terus enerus dipersalahkan, karena aku juga sebenarnya tidak mau melakukan perbuatan itu.
"Lantas dimana kamu ketika aku butuhkan? Aku selalu memohon agar kamu tidak meninggalkanku. Aku sudah merasa nyaman hidup dengan petunjukmu. Ketika setan datang dengan segala rayuannya kamu tidak ada. Kamu tidak membantuk, hah!!" Aku marah, tak mau disalahkan begitu saja.
"Lah, bukannya kamu yang menyuruhku pergi?" katanya balik ngeles.
"Kapan aku menyuruhmu pergi?" tanyaku.
"Ketika kamu lalai dari mengingat Tuhanmu dan menafsirkan segala bisikan setan dengan sesuatu yang menurutmu nikmat dan indah. Ketika itu kamu telah condong ke rayuannya setan. Kamu sendiri yang melupakanku. Kamu cuekkan aku, dan kamu asyik dengan kesenanganmu."
Aku tak bisa berkata-kata. Mataku beraca-kaca. Airmata kembali membanjiri wajahku, tembus ke sanubari. Kini perasaan sesal yang memenuhi rongga dadaku. Sedangkan di tempat lain, syetan tak berkomentar sedikitpun. Dia hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan pertengkaranku dengan imanku.
 Sepertinya imanku masih marah. Ia belum sepenuhnya masuk ke jiwaku. Aku mencoba mendatangkannya lagi lewat tahajud. Namun tahajudku masih terasa hambar. Tak ada lagi kelezatan berdiri, ruku, dan sujud dalam tahajudku. Doa-doaku berhamburan begitu saja dari bibirku tanpa dibarengi kalbu. Kalbuku masih pilu karena iman masih marah padaku. Aku hampa. Jiwaku berkabut. Sepi kembali memagut.***

Sembilu Menyayat Rindu


alam masih setia menemani kehidupan
kedip bintang senyum bulan
ciptakan harmoni kecapi kemesraan
lagu rindumu jua sajak cintaku
menghiasi orkestra cerita kita

rindumu yang kau tamparkan ke mukaku
ku usap jua dengan tanganku yang sudah lama berkarat
karena lama menggenggam cinta yang dulu kita buat

rindumu jua rinduku menjelma bagai sembilu
mengiris habis rasa; memutilasi tubuh nan hampir rubuh
rubuh dalam dengus dengkur; di atas lembut benang kasur

dirimu diriku merayu mencubu
dirimu diriku bersatu berpadu

3/24/2011 8:49:05 PM

Aura Cinta dari Nirwana

Pancaran indah memesona jiwa
Pelita jelita menerangi mayapada
Nurani berseri tersenyumlah bidadari
Di taman merekah bunga-bunga sanubari

Perlahan, kita berjalan berpapah alam
Kadang terlindas ditebas kelam
Kita tegar menembus segala rana
Bersenjata aura cinta dari nirwana

Marilah kita taklukan zaman
Kita beri rasa pada dentuman masa
Sebarkan cinta pada setiap keramaian
Agar  dinamika hidup kita lezat terasa

Padmasana…
Kita akan mendudukinya pada masanya

Tanah 80, 3/13/2011 9:08:21 PM

Api Sentosa
























APA yang bisa manusia lakukan jika segenap upayanya belum mampu mengantarnya ke tepian harapan? Larut dalam gelombang sedih, atau hanyut dalam derasnya aliran keputus asaan. Keduanya sungguh tidak akan memberikan solusi, melainkan menambah deretan masalah kehidupan. Jika manusia menemukan ceceran usahanya masih nol, maka seyogyanya dia kembali mengadu kepada Allah swt, Tuhan yang sebenarnya mengetahui apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Putus asa merupakan sikap orang-orang kafir.
Pemikiran tersebut dirasakan Darto, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi di Universitas Negeri Impian. Sejak empat tahun lalu dia meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu di Jakarta. Dia tertarik belajar ekonomi, karena menurutnya ekonomi sering menjadi trending topic kehidupan manusia di dunia ini. Berita kriminal di televisi tiap hari siaran, berarti tiap hari terjadi kejahatan. "Benarkah Adam Smith sang kapitalis yang menyatakan kondisi kejiwaan manusia dipengaruhi oleh perutnya?". Nyatanya, motif dari kejahatan-kejahatan yang selama ini terjadi mayoritas karena faktor ekonomi.
Fenomena tersebut yang memecut keinginan Darto untuk menguasai ilmu ekonomi dengan harapan bisa meningkatkan taraf ekonomi dirinya, keluarganya, agamanya, dan bangsanya. Sebuah cita-cita mulia yang dimiliki seorang anak kampung. Sebuah cita-cita nan agung.
Sembari kuliah, Darto juga menjadi entrepreneur. "Ya, itung-itung praktik ilmu ekonomi yang aku pelajarin. Tak ada salahnya, ya toh?" Katanya ketika salah seorang dosennya bertanya mengapa dia berjualan nasi goreng di malam hari.
***
Sekujur tubuh Darto masih dililit perban putih. Kejadian tempo hari sementara ini mengebiri semangat perjuangannya. Gas LPG 3 kg adalah yang menjadi kambing hitamnya. Kini dia hanya bisa terbaring. Hanya pikirannya yang jalan-jalan kesana kemari.
Pikirannya singgah di tempat biasanya dia menjual nasi goreng. "Disini, ketika itu aku sedang kebanjiran pembeli. Sebelah sana Mas Poniman sedang makan nasi goreng. Sebelah sini, seorang wanita cantik sendang mengantri, di sampingnya ada seorang bapak-bapak, sebelah sananya lagi ada beberapa anak funk." Kini pikirannya entah dimana,  melayang atau hanyut terbawa angin.
Kecelakaan itu terjadi pada malam minggu. Ketika itu, Darto sedang diserbu para langganan penikmat nasi gorengnya. Ada juga new comer yang tertarik dengan cerita temannya tentang kelezatan nasi goreng buatan Darto. Namun, ketika sedang asyik memasak nasi goreng, tiba-tiba gas LPG meledak. Korbannya tak hanya Darto, beberapa pembeli juga ikut menjadi korban. Kiosnya habis tak tersisa. Tak cuma itu, semangatnya ikut terlalap api, hingga yang tersisa hanya sedikit dan sangat rentan tergerus dengan keputusasaan.
Setan bertempik di telinga Darto. Dia membisikan sesuatu dan mengobarkan api pemberontakan; berontak pada takdir, pada setiap kesialan, pada setiap kekecewaan yang dirasakan. Mata Darto terlihat membara. Semburan api bak keluar dari gas yang meluluhlantahkan kios nasi gorengnya. Beruntung api itu tak mampu menembus hatinya. Hingga butir-butir keimanannya masih tetap  utuh. Hal itu memudahkan malaikat bertempik lebih keras, melebihi tempikan setan.
"Kau masih punya Allah, Darto. Apakah Allah tidak lebih berharga daripada uang yang selama ini kau kumpulkan. Ingatlah, darimana uangmu? Siapa yang memberimu kuasa untuk mengumpulkan uang? Siapa yang menganugerahimu pikiran jernih hingga kau bisa berpikir untuk membuka usaha? Siapa? Siapa? Bagaimana nasibmu jika Allah meninggalkanmu? Bisakah kau berkuasa atas dirimu dan membuat nyata segala ambisimu?"
Seketika, air mata berhamburan dari mata Darto. Air mata yang membawa ribuan kesadaran, dan membawa titipan keikhlasan untuk Darto yang selama ini tidak pernah berhenti beribadah, berdoa, dan memurnikan keimanan kepada Allah subhanahu wataala.
"Hamba pasrah dan ridha dibakar takdir-Mu ya, Rabb. Hamba ikhlas terhadap seluruh titah-Mu," lirih Darto.
Di Jakarta dia tidak memiliki saudara. Dia hidup sendiri. Kecelakaan yang menimpanya sengaja tidak diberitahukan kepada orang tuanya. Dia takut orang tuanya panik, apalagi ibunya. Di rumah sakit, Darto  dibantu oleh teman dekatnya yang kebetulan namanya agak berdekatan yaitu Darmin. Setiap hari, Darmin selalu menjaga Darto. Mereka berdua sudah dekat semenjak jadi mahasiswa baru. Ketika itu, Darto menyelamatkan Darmin dari keroyokan preman yang mencoba memeras Darmin. Hampir saja Darmin menjadi korban kebrutalan preman-preman itu.
"Belum tidur, Min?" tanya Darto.
"Belum, To. Kenapa, kamu mau pipis?"
"Enggak. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Tuh lihat lihat sudah jam 02.00, kalau bergadang nanti jerawatmu tumbuh, kalau jerawatmu tumbuh gagal dech kamu menggaet si Sri, kalau gagal menggaet Sri, nangis nanti kamu," kata Darto menggoda Darmin.
"Tenang aja, Sob. Aku sudah menyiapkan seribu satu strategi untuk menggaet Sri jika ada kemungkinan dia mengembalikan cinta Darmin yang tulus ini, hahaha…" jawab Darmin.
***
Kecelakaan yang dialami Darto tempo hari hampir saja memupuskan selaksa harap dan cita-cita yang Darto ukir pada kanvas imanjinasinya. Bagaimana tidak, uang yang dia kumpulkan habis digunakan untuk biaya pengobatan dirinya. Itu juga ditambah dengan pinjaman dari temannya, Darmin. Sebenarnya bisa saja Darto laporan kepada orang tuanya mengenai kecelakaan yang dialaminya. Orang tuanya punya beberapa kambing yang mungkin saja akan dijual untuk biaya pengobatan Darto. Tapi dia sudah bertekad tidak akan memberitahu orang tuanya. Darto tahu, jika orang tuanya tahu bukan saja orag tuanya akan panik, melainkan juga akan pusing memikirkan uang.
Selain kehilangan uang tabungannya, Darto juga harus kehilangan ketampanan wajahnya. Api yang berkobar dengan ganasnya, telah membakar habis wajah Darto yang lumayan tampan itu. Kini kulit mukanya keriput, bekas luka bakar memberikan efeks khas di wajah Darto.
"Inilah Darto yang baru," gumamnyasambil bercermin.
Kini dia sedang memikirkan usaha apa yang akan dilakukannya. Untuk mulai lagi usaha nasi goreng, dia masih enggan. Kecelakaan itu sedikit membuatnya terauma. Dia belum bisa lupa sepenuhnya. Dia juga masih diliputi perasaan bersalah, karena api dari kompor gasnya, beberapa orang pembeli nasgornya kebagian panasnya api.
Untuk sementara Darto memutuskan untuk cuti kuliahnya. Hal ini dilakukannya mengingat dia belum memiliki sumber uang baru untuk biaya kuliah. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk bayar kosan bulan depan saja belum terbayang.
Meski dalam keadaan sulit, Darto tidak lantas frustasi dan murka terhadap Allah, sebagaimana banyak terjadi pada orang lain. Dia tetap beribadah dan berdoa. Malah intensitas komunikasinya dengan Allah melalui shalat ataupun puasa sunah semakin meningkat. Darto menyadari bahwa semua yang terjadi hanyalah ujian dari Allah. Semuanya tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya. Keyakinan itulah yang membuatnya tetap tegar. Bahkan, semakin gigih berpikir mencari cara untuk mendapatkan uang .
 Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Permulaan surat al-Mulk itulah yang menjadi spirit Darto untuk bangkit. Dia sangat menyukai surat tersebut. Karenanya, dia rutin membacanya pada setiap habis melaksanakan shalat isya. Ayat tersebut sering mengingatkan Darto jika dia merasa bosan, atau sedikit putus asa terhadap kesulitan hidup yang dialaminya.
Kini Darto memiliki usaha baru. Dia menjadi pedagang es krim keliling milik tetangga kos-kosannya. Usaha ini setidaknya lebih dingin dari usaha nasi goreng yang selalu berhubugan dengan api. Meski dingin, tetapi omzetnya tetap panas.
Setiap pukul 09.00 dia mulai berangkat dagang. Dengan sepeda dia mengelilingi perumahan-perumahan dan kos-kosan di Jakarta. Dia juga rutin mengunjungi sekolah-sekolah pada waktu istirahat. Setiap hari es krim yang dibawanya selalu habis terjual. Hal inilah yang membuat pemilik es krim semakin percaya kepada Darto. Memang, dalam urusan marketing Darto tidak menemui kesulitan. Sejak kecil dia sudah terbiasa berjualan. Usaha es krim yang sedang dijalankannya kini, mengingatkan dia ke masa lalu; tepatnya waktu dia sekolah di Sekolah Dasar. Setiap berangkat ke sekolah dia membawa satu buah termos es berisi es lilin milik Haji Duleh.
Dia selalu memulai menjualan es krimnya ke perumahan Sentosa Indah. Disana peminat es krim cukup banyak. Disana dia punya langganan, seorang wanita cantik yang belakangan mengenalkan dirinya sebagai Mutiara.
"Panggil saja, Muti, Mas!" katanya sambil melempar senyum. Senyum yang jarang sekali Darto temukan selama ini.
"Lho, kok bengong. Mas belum mengenalkan diri, nanti saya larang jualan disini, lho," Mutiara menggoda.
"Eh, i..iya lupa," jawab Daro dengan sedikit gugup.
"Aku sakit dilempar senyummu," Darto berbisik dalam hatinya.
"Saya Darto, mbak," katanya.
"Wah, nama yang bagus. Bahkan Mbah Surip pernah membuat lagu memakai nama Mas. Mendingan tak gendong, Darto,…enak Darto, ayo mau kemana, ha..ha..ha,"  Mutiara sambil bernyanyi lagu Mbah Surip yang diplesetkannya.
Darto hanya tersenyum. Entah mengapa, dia merasakan sebuah energi kebahagiaan yang merasuk ke lubuk hatinya. Perasaan bahagia yang belum pernah dirasakannya. Mutiara sang gadis jelita itu terasa sudah sangat dekat di hatinya.
"Wah, jangan marah Mas, Muti Cuma canda kok. Nih, uangnya," Mutiara membuyarkan lamunan Darto.
"Ya nggak dong, Mbak. Masa gitu aja kok repot, eh salah…gitu aja kok marah, apa kata dunia, hehe…"  kata darto dengan sedikit canda.
"Ya, makasih ya, Mas. Besok kesini lagi," kata Mutiara sambil menerima bungkusan berisi beberapa es krim. 
"Insya Allah, Mbak. Mari, Mbak..Assalamualaikum," kata Darto.
"Waalaikumsalam," jawab Mutiara.
Di perumahan ini Darto kembali dibakar api. Kali ini api semangat yang sangat menggelora. Dia masih teringat gadis yang begitu cepat akrab. Ya, Mutiara telah mengobarkan api semangat Darto. Ada secercah harapan di hati Darto. Namun, "Astagfirullah," itu tak mungkin.
Di sepanjang jalan dia terus memikirkan gadis yang baru saja menyandainya. Tak terasa es krim di box sudah tak tersisa. Segera dia menyetorkan uang hasil penjualannya kepada bosnya. Kemudian dia lantas pulang ke kosannya. Setibanya di kosan, segera dia melihat cermin. Wajahnya longgak lenggok layaknya wanita sedang berdandan.
"Alhamdulillah, kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqi," dia berdoa di hatinya sambil terus melihat wajahnya.
"Seandainya mukaku tidak terbakar,…"
"Astaghfirullah, tak boleh saya berkata demikian. Alhamdulillah ya Allah, wajah saya masih tersisa," gumamnya.
Segera dia meletakkan cermin di laci lemari kecil. Dia langsung merebahkan dirinya di atas kasur lusuh. Matanya menatap cermin, pikirannya menerawang ke perumahan Sentosa Indah. Guyonan dan senyuman yang dilontarkan gadis bernama Mutiara masih teringat. Dia berharap jarum jam berlari, mengantarnya ke besok pagi. Dia ingin segera menyambangi perumahan sentosa.
Wahai jarum jam yang baik hati
Segeralah engkau berlari
Jangan hanya berjalan
Karena malam akan pergi perlahan
Segeralah berlari
Biarkan aku menyambut pagi
Disana aku akan terbakar api
Aki ingin terbakar api….
Sepenggal puisi itu ditulis Darto dalam sebuah buku catatan kecil. Buku kecil itu menjadi satu-satunya tempat berbagi Darto tentang perasaan-perasaan pribadinya. Puisi itu menjadi penutup aktifitas Darto hari ini. Dia tertidur pulas. Membawa bayang senyum gadis jelita meski hanya seulas.
***

Klender, tanggal sekian bulan sekian





Tuhanku, Aku...

Tuhanku, aku mengimani-Mu
Tetapi aku takut imanku tergerus badai nafsu
Menghantam penuh dendam setiap denyut iman
Kumohon keimananku kokoh sepanjang zaman

Tuhanku aku merasakah hembusan kasih-Mu
Tetapi aku takut lumpur nista yang kini meraja
Menahan derasnya aliran kasih-Mu
Kumohon pupuskan nista sepanjang masa

Tuhanku, aku menyaksikan keagungan-Mu
Tetapi aku takut gumpalan dosa
Membutakan mata memupus segala kuasa
Kumohon enyahkan dosa dari segenap jiwa

Tuhanku, mendengarkan dendang firman-Mu
Tetapi aku takut terhadap bising dunia
Menulikan pendengaran dari setiap baiknya pelajaran
Kumohon kecilkan bising dunia; yakinkan segalanya fana

Bulak, 6/16/2011 6:54:44 AM

Cermin


PRIA sangat membenci cermin. Setiap dia menemukan cermin, selalu dipecahkannya. Tak heran, jika di rumahnya tidak ada satu cermin pun yang terpasang. Bahkan, beberapa kali dia ditangkap polisi karena tidak memasang kaca spion di motor bebeknya.

Kebenciannya kepada cermin karena dia selalu merasa diomeli. Kelakuan-kelakuannya yang salah  selalu ditunjukan oleh cermin itu.  

"Hei, mengapa tidak memuji Tuhanmu yang telah memberi wajah."

"Oh, mungkin karena wajahmu tak seganteng Leonardo De Caprio, ya?"

"Mendingan kamu wajahnya tak rata, tuh lihat wajah tembok, datar begitu, mestinya kamu bersyukur." Cermin terus saja nyerocos tanpa memedulikan wajah Pria yang mulai memerah.

"Aaaaah, diaaam…!!."

"Prakkk..!!!! Cermin pecah. Pria meninjunya. Dia marah. Tangannya berdarah. Pecahan cermin berserakan di sekitar tempat pria berdiri.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu,"   sayup-sayup suara cermin terdengar diantara dengus nafas pria yang menahan amarah.

Pria merasa heran, mengapa cermin itu seolah tahu segala perlakuan yang pernah dilakukannya. Bahkan apa yang diucapkan dan diniatkan di dalam hatinya. Cermin seolah tahu betul ketika dia tidur di rumah Sari yang ditinggal suaminya ke luar kota; atau ketika dia pura-pura shalat di rumah Pak Gufron, ayah Mita, gadis incarannya. Saat itu, dia hanya mengucapkan takbir yang dikerasin sambil asyik memainkan game di hapenya. Agar disangka shalat oleh pengisi rumah.

"Kamu itu munafik, Pria," kata cermin yang ada di kamar mandi. 

"Menunjukan perilaku saleh di depan orang-orang. Padahal kamu sengaja menunjukan kesalehanmu untuk menipu orang lain. Kamu jadikan kesalehanmu itu sebagai kedok penutup kejahatn-kejahatanmu. Kamu seolah peduli ketika ayam pak RT hilang, kamu sok perhatian. Padahal kamu sendiri yang menangkap, menyembelih, dan membakarnya di sungai itu bersama teman-temanmu, bukan?" lanjutnya.

Cermin itu sepertinya belum puas mengatai Pria yang sudah mulai terprovokasi oleh ucapannya. Emosinya mulai tersulut. Namun, Pria berusaha tak acuh dengan segala ucapan cermin. Dia lantas mengambil sikat gigi, dan meletakan odol di atasnya. Baru saja dia memasukan air ke mulutnya untuk berkumur, cermin itu berkata lagi,

"Oh, sekarang kamu akan membersihkan mulut busukmu itu. Setelah berpuluh-puluh orang luka hatinya karena ucapan kasarmu. Berapa perempuan menjadi janda karena kamu memberikan berita bohong kepada suaminya. Padahal kamu hanya mau mendapatkan birahi perempuan itu setelah diceraikan suaminya. Dari mulutmu itu juga, kamu mengeluarkan sumpah serapah kepada ibumu, hanya karena ibumu tidak bisa membelikanmu motor hingga akhirnya ibumu mati terserang penyakit jantung karena ucapan-ucapanmu. Ingatlah, odol itu, sikat itu, tak akan mampu membersihkan dosa-dosa mulutmu, kecuali jigong yang menambah aroma busukmu."

Cermin terus saja mengatai Pria, bahkan ucapannya lebih pedas daripada ucapan cermin yang ada di kamar Pria yang sudah lebih dulu hancur. Cermin itu mungkin tidak tahu apa yang terjadi pada saudaranya di kamar. Dia begitu emosi, karena ibu Ratih yang biasa membersihkannya setiap sore, meninggal gara-gara dimarahi Pria.  

"Kamu itu anak yang tidak tahu diri," kata cermin seolah belum puas.

"Apa urusanmu, hah? Ikut campur urusanku," bentak Pria setelah memuntahkan air yang sejak tadi memenuhi mulutnya ke muka cermin.

"Aku cuma mau menunjukan perilaku-perilaku jelekmu yang selama ini kau sembunyikan kepada manusia lain," jawab cermin.

"Kamu munafik, sok suci. Padahal kamu sendiri bejat. Kamu suka melihat orang-orang telanjang di kamar mandi ini. Bahkan orang yang sedang berak pun kau lihat juga. Dasar penjilat, munafik!!"

"Lho, bukankah itu memang tugasku. Aku juga, kan yang menunjukan sisa-sisa makanan yang nempel di gigi bolongmu," cermin tak mau kalah.

"Tapi kau juga begitu suka melihat aurat manusia."

"No problem, toh aku bekerja sesuai fitrahku. Aku hanya menjalankan sunah Tuhan. Satu lagi, Tuhan tidak menyiapkan neraka buatku. Tapi buatmu!"

"Prakkk…!!!" Akhirnya cermin itu pecah. Serpihannya memenuhi kamar mandi. Pria menanduknya, sampai berdarah dahinya.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu," sayup-sayup suara cermin terdengar lagi, mirip dengan suara cermin yang dipecahkan di kamar tadi.

***

Sejak kejadian-kejadian itu, dia menjadi paranoid terhadap cermin. Cermin di rumahnya sudah tidak tersisa satu pun. Dia merasa sudah ditelanjangi oleh cermin. Segala kelakuan buruknya, selalu diungkapkan cermin itu. Karena itu, dia mengumumkan perang terhadap cermin, dimanapun dia bertemu.

"Aku akan membumihanguskan cermin dari muka bumi ini," gumamnya.
Setiap kali dia bertamu ke rumah temannya, dan disana dia melihat cermin matanya langsung melotot. Isi kepalanya  mendidih, tangannya gemetar.

"Kamu kenapa? Tanya Utsman ketika melihat Pria berubah menjadi gemetaran.

"Oh, tidak apa-apa."

"Boleh aku minta air?"

"Oh, ya, sebentar aku ambilkan." Utsman lantas ke dapur hendak mengambil air minum untuk Pria.

Ketika Utsman di dapur, sejurus tangan Pria menyambar cermin yang menggantung di dekat kamar Utsman. Ia lantas menyembunyikan jaket itu di balik jaketnya.

"Hei, apa maumu?" tanya cermin dari balik jaket.

"Diam saja kamu, jangan berisik. Tidak ada tempat buatmu di muka bumi ini."

"Kau masih dendam rupanya."

"Aku bilang diam, bangsat!"

"Kenapa Pria?" tanya Ustman yang datang dengan membawa segelas air.

"Oh, anu, oh, enggak." Pria kikuk.

Akhirnya dia pulang dengan membawa cermin yang akan dihancurkannya.

Dari jembatan, Pria melemparkan cermin itu ke batu-batu yang ada di bawahnya. Batu itu tak bisa berbuat apa-apa. Dan, "Praakkk…" cerminpun pecah.

"Mengapa kamu pecahkan aku? Padahal suatu saat kamu akan membutuhkanku. Dan ingatlah, aku sudah terlanjur berserakan. Pecahan-pecahanku tidak bisa kamu tata lagi seperti dulu," suara cermin yang mirip dengan cermin-cermin yang telah dipecahkan sebelumnya, semakin lama semakin jauh, dan hilang ditelan sungai yang bergemuruh.

***
Pada hari itu, seluruh warga kampung dihebohkan dengan hilangnya cermin dari rumah-rumah mereka. Bahkan, cermin yang menggantung di pos ronda juga raib entah kemana.Cermin yang ada di tempat wudlu masjid pun tidak ada di tempatnya.

"Kampung kita sudah mulai tidak aman, Pak. Sebaiknya siskamling dijalankan lagi," kata Sapri.

"Betul, Pak. Dan seharusnya siskamling itu tidak hanya aktif ketika ada isu ninja, kolor ijo, atau culik saja," tambah Kirman. 

"Iya, sebenarnya itu sudah menjadi program kerja saya. Prioritas saya adalah menciptakan lingkungan kampung yang aman dan tentram. Saat ini saya sedang menggodok langkah-langkah untuk merealisasikannya," kata pak RW.

"Strategi saya, tidak usah grusah grusuh, slowly but sure saja lah. Agar hasilnya maksimal," lanjutnya sambil menyeruput kopi.

"Tapi harus sigap, dong, Pak. Keadaan sudah genting," timpal Kirman.

"Betul, Pak. Sekarang sudah tiga perempat warga kampung yang kehilangan cermin. Nanti, bisa saja bukan cermin yang hilang, tapi kampung ini."

"Hahaha…mana mungkin ada orang yang mampu mencuri kampung ini."

Pak RW sebenarnya merasa senang dengan adanya isu itu. Sebab, dia juga pernah dipermalukan oleh cermin. Tapi dia ingin tahu siapa sebenarnya yang melakukan penculikan cermin-cermin di kampungnya.

"Nanti akan saya dukung dia," gumamnya dalam hati.

Pak RW masih ingat bagaimana dia dikatakan munafik, jahat, koruptor, pembohong publik, menggunakan kekuasaan untuk memaksa para wanita melayaninya, dan sebagainya. Tapi dia masih belum berani memberangus cermin-cermin itu.

"Aku ini pemimpin, kalau cermin itu aku hancurkan gara-gara dia suka mengomel, nanti dikatakan pemimpin yang anti kritik," gumamnya.

"Biarkan saja, biar jaman yang memusnahkannya," gumamnya lagi.

***

Sudah seminggu kasus raibnya cermin itu melanda. Tadi malam, giliran rumah Imran dan Suminah yang kehilangan cermin. Bahkan, cermin yang menjadi kaca pintu lemarinya juga hilang.

Meski demikian, Pak RW belum melakukan tindakan apapun. Tiap hari warga memberikan laporan, namun jawabnnya selalu saja ngambang.

"Tenang, saya sedang menyusun strategi."

"Ah itu mah kasus biasa. Terlihat istimewa karena yang dicuri cermin, bukan mayat bayi atau kutang perempuan seperti yang sudah banyak diberitakan."

"Ya, besok saya akan rapat dengan pengurus RW lain."

Respon pak RW tidak memberikan kepastian atau ketenangan bagi para warganya.

Akhirnya mereka mengajukan laporan ke Kapolsek.

"Kasus hilangnya cermin itu sudah seminggu, Pak. Seluruh warga kehilangan cerminnya. Kecuali 3 kepala keluarga lagi, itu juga karena mereka tidak punya cermin," Kirmann yang bertindak sebagai juru bicara warga menyampaikan laporannya.

Polisi itu manggut-manggut.  Seolah mengerti apa yang disampaikan Kirman. Keterangan tidak diketik dalam berita acara laporan,  dia malah melepaskan tatapan kosong menerawang ke masa beberapa bulan yang lalu, melukis kembali kenangan ketika dia menerima ejekan menjengkelkan dari cermin.

"Kamu itu polisi. Semboyan melayani masyarakat. Tapi tak mau melindungi jika masyarakat itu tak ada uangnya. Kamu ingat, ketika pak Kurmin melaporkan kehilangan anaknya yang autis, kamu tidak menggubrisnya karena dia tidak meberimu uang. Namun, ketika bandar miras minta dikawal ketika mau ngirim ke kota Cikeras kamu begitu sigap dan siap karena dibayar dengan jumlah besar. Kamu itu melayani atau mau dilayani masyarakat."

Muka polisi itu memerah. Kebenciannya kepada cermin itu muncul lagi. Sedangkan Kirman masih tetap di tempat tadi, melaporkan kasus pencurian cermin itu.

"Kalau saya usut kasus ini sampai pelaku tertangkap, maka cermin-cermin itu akan semakin melunjak. Habislah reputasiku diinjak-injaknya," katanya dalam hati.

"Baiklah, Pak. Laporan dari bapak saya sudah terima. Insya Allah secepatnya saya akan kirim tim ke TKP. Sampaikan kepada warga kampung semuanya agar tetap tenang, dan tidak panik. Ini hanya kasus biasa. Tidak terlalu serius," katanya kepada Kirman.

Namun, sampai seminggu kemudian tim kepolisian tidak kunjung datang. Akhirnya Kirman dengan dukungan warga menyampaikan laporan ke Kapolres, Bupati, Gubernur, Kapolda, dan bahkan sampai tak ada lagi semangat untuk melaporkan. Seluruhnya menyampaikan jawaban yang ngambang, dan memberikan harapan yang hampa. Sementara warga, hanya bisa pasrah pada kenyataan. Bahwa semua ternyata membenci cermin.

***
Menyebarlah berita tentang kasus itu. Semakin banyak laporan, semakin banyak pula orang-orang yang menghancurkan cermin. Bahkan, tak terhitung sekarang berapa jumlah pelakunya. Dendam Pria terhadap cermin ternyata sudah menular kepada orang lain yang merasa terancam. Terancam terbuka semua rahasia-rahasia negatifnya. Makanya, dalam sekejap, cermin telah hilang dari seluruh negeri.

Manusia pun bebas melakukan apa saja. Tak ada lagi yang merasa terancam. Tak ada lagi yang tahu perilaku-perilaku yang menyimpang. Yang punya kesempatan korupsi semakin giat menambah jumlah uang korupsinya. "Ini investasi, kalau saya sudah tidak menjabat lagi, tidak mungkin ada kesempatan seperti ini. Bagaimana nasib anak-anakku?" katanya kepada dirinya sendiri. Sebab, hanya dirinya sendiri yang biasanya diajak ngobrol sekaligus diskusi masalah strategi.

Begitu juga para pekerja, semakin bebas menilap barang milik bossnya. Penjual mengurangi timbangan barangnya. Pembantu rumah tangga berani selingkuh dengan majikannyayang gatal. Sekarang semua tak perlu ragu, karena cermin sudah tiada. Sudah musnah. Sudah pergi bersama bersama angin yang menghempaskan nurani.

***

Pria sekarang merasa menang. Dendam membara pada cermin mulai mereda. Kini dia tidak ada lagi yang mengganggu ketika dia ingin masuk ke rumah para janda di kampungnya. Dia tak lagi merasa dibuntuti. Dia tak merasa diawasi.

Namun, ada yang ganjil dirasakannya ketika bertemu orang-orang. Mereka selalu membuang muka sambil tertawa.

"Apa ada yang salah denganku, ya?"

Akhirnya dia menemui Kirman. Dan bertanya ada apa dengan dirinya sehingga setiap orang yang bertemu dengannya selalu tertawa.

"Kenapa, ya, Pak?" tanyanya setelah beberapa lama bercerita.

Sebelum menjawab Kirman malah tertawa terbahak-bahak.

"Kamu habis nyukur kumis ya?

"Iya." Jawabnya masih dengan keheranan.

"Lihat, kumismu gundul sebelah, topimu miring kaya orang ga waras, hahahaha….." kata Kirman sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Hmmm….ini gara-gara kamu juga cermin. Mengapa kamu musnah?"

"Bukankah sudah aku katakan, kamu pasti memerlukan cermin dalam hidupmu. Kamu perlu cermin. Tanpa cermin kamu menjadi culun, kan? Menjadi lucu, kan? Lucu karena penampilanmu yang asal-asalan. Tidak bisa menyeimbangkan penampilanmu, kan? Kini kamu tahu, bahwa kamu ternyata butuh aku," samar-samar dari kejauhan ada suara yang persis mirip suara cermin-cermin yang dipecahkan Pria.

Panas Pria karena cermin pun kini mulai dingin. Dan dia berjanji untuk memasang kembali cermin di dinding rumahnya. Bahkan, digantung didadanya.***

Klender, 3/13/2011 8:27:57 PM

Deru Ambisi


Deru langkah ambisi
Berkobar setiap pagi mulai
Tak peduli mentari berseri atau tak berseri
Angan terus berlari memanjakan diri

Ada kala manusia berkelumun asa
Menggenggam dunia berkuasa atas masa
Menggantung cita di langit ke tujuh
Bermandi kesah berpeluh keluh

Andai saja manusia ingat
Ada Tuhan yang Mahakuat
Dia begitu dekat
Memenuhi segala hasrat yang tergurat

Tuhan telah menunjukan jalan keimanan
Lalui dia, dengan segenap keikhlasan
Keikhlasan yang tak terbeli
Genggam erat hingga mati

Sejuta usaha sampai di jalan buntu
Tanpa tangan Tuhan mengulur membantu
Tuhan sangat baik
Manusia hanyat perlu meminta
Dia pasti memberi tanpa menagih kembali

Klender, 3/23/2011 6:43:05 AM