Assalamualaikum...Selamat datang di Cepi's Notes. Sesuai judulnya, blog ini hanyalah berisi catatan-catatan pribadi saya tentang beberapa hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Karenanya, tentu tidak menjamin kepuasan Anda, hehehe... Terima kasih telah mampir.

Api Sentosa
























APA yang bisa manusia lakukan jika segenap upayanya belum mampu mengantarnya ke tepian harapan? Larut dalam gelombang sedih, atau hanyut dalam derasnya aliran keputus asaan. Keduanya sungguh tidak akan memberikan solusi, melainkan menambah deretan masalah kehidupan. Jika manusia menemukan ceceran usahanya masih nol, maka seyogyanya dia kembali mengadu kepada Allah swt, Tuhan yang sebenarnya mengetahui apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Putus asa merupakan sikap orang-orang kafir.
Pemikiran tersebut dirasakan Darto, mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi di Universitas Negeri Impian. Sejak empat tahun lalu dia meninggalkan kampung halamannya untuk menimba ilmu di Jakarta. Dia tertarik belajar ekonomi, karena menurutnya ekonomi sering menjadi trending topic kehidupan manusia di dunia ini. Berita kriminal di televisi tiap hari siaran, berarti tiap hari terjadi kejahatan. "Benarkah Adam Smith sang kapitalis yang menyatakan kondisi kejiwaan manusia dipengaruhi oleh perutnya?". Nyatanya, motif dari kejahatan-kejahatan yang selama ini terjadi mayoritas karena faktor ekonomi.
Fenomena tersebut yang memecut keinginan Darto untuk menguasai ilmu ekonomi dengan harapan bisa meningkatkan taraf ekonomi dirinya, keluarganya, agamanya, dan bangsanya. Sebuah cita-cita mulia yang dimiliki seorang anak kampung. Sebuah cita-cita nan agung.
Sembari kuliah, Darto juga menjadi entrepreneur. "Ya, itung-itung praktik ilmu ekonomi yang aku pelajarin. Tak ada salahnya, ya toh?" Katanya ketika salah seorang dosennya bertanya mengapa dia berjualan nasi goreng di malam hari.
***
Sekujur tubuh Darto masih dililit perban putih. Kejadian tempo hari sementara ini mengebiri semangat perjuangannya. Gas LPG 3 kg adalah yang menjadi kambing hitamnya. Kini dia hanya bisa terbaring. Hanya pikirannya yang jalan-jalan kesana kemari.
Pikirannya singgah di tempat biasanya dia menjual nasi goreng. "Disini, ketika itu aku sedang kebanjiran pembeli. Sebelah sana Mas Poniman sedang makan nasi goreng. Sebelah sini, seorang wanita cantik sendang mengantri, di sampingnya ada seorang bapak-bapak, sebelah sananya lagi ada beberapa anak funk." Kini pikirannya entah dimana,  melayang atau hanyut terbawa angin.
Kecelakaan itu terjadi pada malam minggu. Ketika itu, Darto sedang diserbu para langganan penikmat nasi gorengnya. Ada juga new comer yang tertarik dengan cerita temannya tentang kelezatan nasi goreng buatan Darto. Namun, ketika sedang asyik memasak nasi goreng, tiba-tiba gas LPG meledak. Korbannya tak hanya Darto, beberapa pembeli juga ikut menjadi korban. Kiosnya habis tak tersisa. Tak cuma itu, semangatnya ikut terlalap api, hingga yang tersisa hanya sedikit dan sangat rentan tergerus dengan keputusasaan.
Setan bertempik di telinga Darto. Dia membisikan sesuatu dan mengobarkan api pemberontakan; berontak pada takdir, pada setiap kesialan, pada setiap kekecewaan yang dirasakan. Mata Darto terlihat membara. Semburan api bak keluar dari gas yang meluluhlantahkan kios nasi gorengnya. Beruntung api itu tak mampu menembus hatinya. Hingga butir-butir keimanannya masih tetap  utuh. Hal itu memudahkan malaikat bertempik lebih keras, melebihi tempikan setan.
"Kau masih punya Allah, Darto. Apakah Allah tidak lebih berharga daripada uang yang selama ini kau kumpulkan. Ingatlah, darimana uangmu? Siapa yang memberimu kuasa untuk mengumpulkan uang? Siapa yang menganugerahimu pikiran jernih hingga kau bisa berpikir untuk membuka usaha? Siapa? Siapa? Bagaimana nasibmu jika Allah meninggalkanmu? Bisakah kau berkuasa atas dirimu dan membuat nyata segala ambisimu?"
Seketika, air mata berhamburan dari mata Darto. Air mata yang membawa ribuan kesadaran, dan membawa titipan keikhlasan untuk Darto yang selama ini tidak pernah berhenti beribadah, berdoa, dan memurnikan keimanan kepada Allah subhanahu wataala.
"Hamba pasrah dan ridha dibakar takdir-Mu ya, Rabb. Hamba ikhlas terhadap seluruh titah-Mu," lirih Darto.
Di Jakarta dia tidak memiliki saudara. Dia hidup sendiri. Kecelakaan yang menimpanya sengaja tidak diberitahukan kepada orang tuanya. Dia takut orang tuanya panik, apalagi ibunya. Di rumah sakit, Darto  dibantu oleh teman dekatnya yang kebetulan namanya agak berdekatan yaitu Darmin. Setiap hari, Darmin selalu menjaga Darto. Mereka berdua sudah dekat semenjak jadi mahasiswa baru. Ketika itu, Darto menyelamatkan Darmin dari keroyokan preman yang mencoba memeras Darmin. Hampir saja Darmin menjadi korban kebrutalan preman-preman itu.
"Belum tidur, Min?" tanya Darto.
"Belum, To. Kenapa, kamu mau pipis?"
"Enggak. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Tuh lihat lihat sudah jam 02.00, kalau bergadang nanti jerawatmu tumbuh, kalau jerawatmu tumbuh gagal dech kamu menggaet si Sri, kalau gagal menggaet Sri, nangis nanti kamu," kata Darto menggoda Darmin.
"Tenang aja, Sob. Aku sudah menyiapkan seribu satu strategi untuk menggaet Sri jika ada kemungkinan dia mengembalikan cinta Darmin yang tulus ini, hahaha…" jawab Darmin.
***
Kecelakaan yang dialami Darto tempo hari hampir saja memupuskan selaksa harap dan cita-cita yang Darto ukir pada kanvas imanjinasinya. Bagaimana tidak, uang yang dia kumpulkan habis digunakan untuk biaya pengobatan dirinya. Itu juga ditambah dengan pinjaman dari temannya, Darmin. Sebenarnya bisa saja Darto laporan kepada orang tuanya mengenai kecelakaan yang dialaminya. Orang tuanya punya beberapa kambing yang mungkin saja akan dijual untuk biaya pengobatan Darto. Tapi dia sudah bertekad tidak akan memberitahu orang tuanya. Darto tahu, jika orang tuanya tahu bukan saja orag tuanya akan panik, melainkan juga akan pusing memikirkan uang.
Selain kehilangan uang tabungannya, Darto juga harus kehilangan ketampanan wajahnya. Api yang berkobar dengan ganasnya, telah membakar habis wajah Darto yang lumayan tampan itu. Kini kulit mukanya keriput, bekas luka bakar memberikan efeks khas di wajah Darto.
"Inilah Darto yang baru," gumamnyasambil bercermin.
Kini dia sedang memikirkan usaha apa yang akan dilakukannya. Untuk mulai lagi usaha nasi goreng, dia masih enggan. Kecelakaan itu sedikit membuatnya terauma. Dia belum bisa lupa sepenuhnya. Dia juga masih diliputi perasaan bersalah, karena api dari kompor gasnya, beberapa orang pembeli nasgornya kebagian panasnya api.
Untuk sementara Darto memutuskan untuk cuti kuliahnya. Hal ini dilakukannya mengingat dia belum memiliki sumber uang baru untuk biaya kuliah. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk bayar kosan bulan depan saja belum terbayang.
Meski dalam keadaan sulit, Darto tidak lantas frustasi dan murka terhadap Allah, sebagaimana banyak terjadi pada orang lain. Dia tetap beribadah dan berdoa. Malah intensitas komunikasinya dengan Allah melalui shalat ataupun puasa sunah semakin meningkat. Darto menyadari bahwa semua yang terjadi hanyalah ujian dari Allah. Semuanya tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya. Keyakinan itulah yang membuatnya tetap tegar. Bahkan, semakin gigih berpikir mencari cara untuk mendapatkan uang .
 Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Permulaan surat al-Mulk itulah yang menjadi spirit Darto untuk bangkit. Dia sangat menyukai surat tersebut. Karenanya, dia rutin membacanya pada setiap habis melaksanakan shalat isya. Ayat tersebut sering mengingatkan Darto jika dia merasa bosan, atau sedikit putus asa terhadap kesulitan hidup yang dialaminya.
Kini Darto memiliki usaha baru. Dia menjadi pedagang es krim keliling milik tetangga kos-kosannya. Usaha ini setidaknya lebih dingin dari usaha nasi goreng yang selalu berhubugan dengan api. Meski dingin, tetapi omzetnya tetap panas.
Setiap pukul 09.00 dia mulai berangkat dagang. Dengan sepeda dia mengelilingi perumahan-perumahan dan kos-kosan di Jakarta. Dia juga rutin mengunjungi sekolah-sekolah pada waktu istirahat. Setiap hari es krim yang dibawanya selalu habis terjual. Hal inilah yang membuat pemilik es krim semakin percaya kepada Darto. Memang, dalam urusan marketing Darto tidak menemui kesulitan. Sejak kecil dia sudah terbiasa berjualan. Usaha es krim yang sedang dijalankannya kini, mengingatkan dia ke masa lalu; tepatnya waktu dia sekolah di Sekolah Dasar. Setiap berangkat ke sekolah dia membawa satu buah termos es berisi es lilin milik Haji Duleh.
Dia selalu memulai menjualan es krimnya ke perumahan Sentosa Indah. Disana peminat es krim cukup banyak. Disana dia punya langganan, seorang wanita cantik yang belakangan mengenalkan dirinya sebagai Mutiara.
"Panggil saja, Muti, Mas!" katanya sambil melempar senyum. Senyum yang jarang sekali Darto temukan selama ini.
"Lho, kok bengong. Mas belum mengenalkan diri, nanti saya larang jualan disini, lho," Mutiara menggoda.
"Eh, i..iya lupa," jawab Daro dengan sedikit gugup.
"Aku sakit dilempar senyummu," Darto berbisik dalam hatinya.
"Saya Darto, mbak," katanya.
"Wah, nama yang bagus. Bahkan Mbah Surip pernah membuat lagu memakai nama Mas. Mendingan tak gendong, Darto,…enak Darto, ayo mau kemana, ha..ha..ha,"  Mutiara sambil bernyanyi lagu Mbah Surip yang diplesetkannya.
Darto hanya tersenyum. Entah mengapa, dia merasakan sebuah energi kebahagiaan yang merasuk ke lubuk hatinya. Perasaan bahagia yang belum pernah dirasakannya. Mutiara sang gadis jelita itu terasa sudah sangat dekat di hatinya.
"Wah, jangan marah Mas, Muti Cuma canda kok. Nih, uangnya," Mutiara membuyarkan lamunan Darto.
"Ya nggak dong, Mbak. Masa gitu aja kok repot, eh salah…gitu aja kok marah, apa kata dunia, hehe…"  kata darto dengan sedikit canda.
"Ya, makasih ya, Mas. Besok kesini lagi," kata Mutiara sambil menerima bungkusan berisi beberapa es krim. 
"Insya Allah, Mbak. Mari, Mbak..Assalamualaikum," kata Darto.
"Waalaikumsalam," jawab Mutiara.
Di perumahan ini Darto kembali dibakar api. Kali ini api semangat yang sangat menggelora. Dia masih teringat gadis yang begitu cepat akrab. Ya, Mutiara telah mengobarkan api semangat Darto. Ada secercah harapan di hati Darto. Namun, "Astagfirullah," itu tak mungkin.
Di sepanjang jalan dia terus memikirkan gadis yang baru saja menyandainya. Tak terasa es krim di box sudah tak tersisa. Segera dia menyetorkan uang hasil penjualannya kepada bosnya. Kemudian dia lantas pulang ke kosannya. Setibanya di kosan, segera dia melihat cermin. Wajahnya longgak lenggok layaknya wanita sedang berdandan.
"Alhamdulillah, kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqi," dia berdoa di hatinya sambil terus melihat wajahnya.
"Seandainya mukaku tidak terbakar,…"
"Astaghfirullah, tak boleh saya berkata demikian. Alhamdulillah ya Allah, wajah saya masih tersisa," gumamnya.
Segera dia meletakkan cermin di laci lemari kecil. Dia langsung merebahkan dirinya di atas kasur lusuh. Matanya menatap cermin, pikirannya menerawang ke perumahan Sentosa Indah. Guyonan dan senyuman yang dilontarkan gadis bernama Mutiara masih teringat. Dia berharap jarum jam berlari, mengantarnya ke besok pagi. Dia ingin segera menyambangi perumahan sentosa.
Wahai jarum jam yang baik hati
Segeralah engkau berlari
Jangan hanya berjalan
Karena malam akan pergi perlahan
Segeralah berlari
Biarkan aku menyambut pagi
Disana aku akan terbakar api
Aki ingin terbakar api….
Sepenggal puisi itu ditulis Darto dalam sebuah buku catatan kecil. Buku kecil itu menjadi satu-satunya tempat berbagi Darto tentang perasaan-perasaan pribadinya. Puisi itu menjadi penutup aktifitas Darto hari ini. Dia tertidur pulas. Membawa bayang senyum gadis jelita meski hanya seulas.
***

Klender, tanggal sekian bulan sekian





0 komentar:

Posting Komentar

Anda mau menanggapi? Tafadhal...